Gulma
Perkebunan Kelapa Sawit
Gulma
merupakan tumbuhan pengganggu yang memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman. Pengaruh gulma tidak terlihat secara langsung, dan
umumnya berjalan lambat. Gulma perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit,
mampu menjadi kompetitor utama dalam memperebutkan unsur hara, air, ruang
tumbuh dan cahaya matahari. Beberapa spesies gulma juga dapat memproduksi zat
racun yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman utama, dikenal dengan
'alelopati'.
Gulma
umum pada perkebunan kelapa sawit dapat digolongkan menjad:
Gulma
berdaun lebar (broad leaves):
- Asystasia intrusa
- Ageratum conyzoides (babadotan)
- Borreria latifolia (kentangan)
- Chromolaena odorata (krinyuh)
- Clidemia hirta (harendong)
- Colocasia sp. (keladi)
- Crassocephalum crepidoides (sintrong)
- Lantana camana (tembelekan)
- Melastoma malabathricum (senduduk)
- Mikania sp.
- Mimosa invisa (kucingan)
- Mimosa pigra
- Mimosa pudica (putri malu)
- Momordica charantia (pare hutan)
- Stachytarpeta indica (ekor tikus)
Gulma berdaun sempit (grasses):
- Axonopus compressus (paitan)
- Brachiaria mutica (sukat kelanjang)
- Digitaria sp. (genjoran)
- Echinochloa colona
- Eleusine indica (jejagoan)
- Imperata cylindrica (alang-alang)
- Ottochloa nodosa (bambonan)
- Panicum trigonium (parit-paritan)
- Paspalum conjugatum
Teki (sedges):
- Cyperus rotundus
- Cyperus kyllingia
Pakis-pakisan (ferns):
- Cyclosorus aridus (pakis kadal)
- Dicranopteris linearis (pakis kawat)
- Lygodium flexuosum
- Nephrolepis biserrata (pakis harupat)
- Stenochlaena palustris (pakis udang)
Epifit:
- Ficus benjamina (beringin)
- Ficus elastica
- Tukulan sawit (Elaeis
guineensis)
Ulat Api
Ulat api merupakan jenis
ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling sering menimbulkan kerugian di
perkebunan kelapa sawit. Jenis-jenis ulat api yang paling banyak ditemukan
adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima,
Darna diducta dan Darna bradleyi. Jenis
yang jarang ditemukan adalah Thosea vestusa, Thosea
bisura, Susica pallida dan Birthamula chara (Norman
dan Basri, 1992). Jenis ulat api yang paling merusak di Indonesia akhir-akhir
ini adalah S. asigna, S. nitens dan D. trima.
Siklus Hidup
Siklus hidup masing-masing spesies ulat api
berbeda. S. asigna mempunyai siklus hidup
106-138 hari (Hartley, 1979). Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval,
sangat tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan
permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun ke 6-17. Satu tumpukan
telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan
telur 300-400 butir. Telur menetes 4-8 hari setelah diletakkan. Ulat berwarna
hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di bagian punggungnya. Selain
itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang kokoh. Ulat instar terakhir
(instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm. Stadia ulat ini
berlangsung selama 49-50,3 hari. Ulat berkepompong pada permukaan tanah
yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit.
Kepompong diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk
bulat telur dan berwarna coklat gelap. Kokon jantan dan betina
masing-masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadia kepompong
berlangsung selama ± 39,7 hari. Serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing lebar
rentangan sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan
garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna
coklat muda.
Setora nitens memiliki siklus hidup yang lebih pendek
dari S. asigna yaitu 42 hari (Hartley,
1979). Telur hampir sama dengan telur S. asigna hanya
saja peletakan telur antara satu sama lain tidak saling tindih. Telur menetas
setelah 4-7 hari. Ulat mula-mula berwarna hijau kekuningan kemudian hijau dan
biasanya berubah menjadi kemerahan menjelang masa kepompong. Ulat ini dicirikan
dengan adanya satu garis membujur di tengah punggung yang berwarna biru
keunguan. Stadia ulat dan kepompong masing-masing berlangsung sekitar 50 hari
dan 17-27 hari. Ngengat mempunyai lebar rentangan sayap sekitar 35 mm. Sayap
depan berwarna coklat dengan garis-garis yang berwarna lebih gelap.
Ulat api Darna trima mempunyai
siklus hidup sekitar 60 hari (Hartley, 1979). Telur bulat kecil, berukuran
sekitar 1,4 mm, berwarna kuning kehijauan dan diletakkan secara individual di
permukaan bawah helaian daun kelapa sawit. Seekor ngengat dapat meletakkan
telur sebanyak 90-300 butir. Telur menetas dalam waktu 3-4 hari. Ulat yang baru
menetas berwarna putih kekuningan kemudian menjadi coklat muda dengan
bercak-bercak jingga, dan pada akhir perkembangannya bagian punggung ulat
berwarna coklat tua. Stadia ulat berlangsung selama 26-33 hari. Menjelang
berkepompong ulat membentuk kokon dari air liurnya dan berkepompong di dalam
kokon tersebut. Kokon berwarna coklat tua, berbentuk oval, berukuran sekitar
panjang 5 mm dan lebar 3 mm. Lama stadia kepompong sekitar 10-14 hari. Ngengat
berwarna coklat gelap dengan lebar rentangan sayap sekitar 18 mm. Sayap depan
berwarna coklat gelap, dengan sebuah bintik kuning dan empat garis hitam. Sayap
belakang berwarna abu-abu tua.
Biologi dan Ekologi
Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis
daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan
daun. Pada instar 2-3 ulat memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal
daun. Untuk S. asigna, selama perkembangannya,
ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm². Perilaku S. nitens sama dengan S. asigna. Untuk D. trima, ulat mengikis daging daun
dari permukaan bawah dan menyisakan epidermis daun bagian atas, sehingga
akhirnya daun yang terserang berat akan mati kering seperti bekas terbakar.
Ulat menyukai daun kelapa sawit tua, tetapi apabila daun-daun tua sudah habis
ulat juga memakan daun-daun muda. Ngengat aktif pada senja dan malam hari,
sedangkan pada siang hari hinggap di pelepah-pelepah daun tua dengan posisi
terbalik (kepala di bawah). Pada D. trima, di
waktu siang hari, ngengat suka hinggap di daun-daun yang sudah kering dengan
posisi kepala di bawah dan sepintas seperti ulat kantong.
Perbedaan perilaku yang tampak antara ketiga jenis
ulat api yang paling merugikan tersebut juga berbeda. S. nitens dan S. asigna berpupa pada permukaan
tanah tetapi D. trima hanya di ketiak daun atau
pelepah daun. Pengetahuan mengenai biologi dan perilaku sangat penting ketika
akan menerapkan tindakan pengendalian hama sehingga efektif. Kokon dapat
dijumpai menempel pada helaian daun, di ketiak pelepah daun atau di permukaan
tanah sekitar pangkal batang dan piringan.
Kerusakan dan Pengaruhnya di Lapangan
Eksplosi hama ulat api telah dilaporkan pertama
pada tahun 1976. Di Malaysia, antara tahun 1981 dan 1990, terdapat
49 kali eksplosi hama ulat api, sehingga rata-rata 5 kali setahun (Norman dan
Basri, 1992). Semua stadia tanaman rentan terhadap serangan ulat api seperti
halnya ulat kantong.
Pengendalian
Pengendalian Kimiawi
Dahulu, ulat api dapat dikendalikan menggunakan
berbagai macam insekisida dengan efektif. Insektisida tersebut adalah
monocrotophos, dicrotophos, phosmamidon, leptophos, quinalphos, endosulphan,
aminocarb dan achepate (Prathapan dan Badsun, 1979). Insektisida sistemik dapat
digunakan untuk injeksi batang, dan yang lain dapat disemprotkan. Namun sekarang,
insektisida ini jarang digunakan karena keefektifannya diragukan. Kemungkinan,
hal ini disebabkan bahwa populasi yang berkembang telah toleran terhadap bahan
kimia tersebut atau bahan kimia telah tidak mampu menyebar di dalam jaringan
daun. Insektisida yang paling banyak digunakan pada perkebunan kelapa sawit
untuk ulat api saat ini adalah deltametrin, profenofos dan lamda sihalothrin.
Pengendalian Hayati
Beberapa agens antagonis telah banyak digunakan
untuk mengendalikan ulat api. Agens antagonis tersebut adalah Bacillus thuringiensis, Cordyceps militaris dan
virus Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV). Wood
et al. (1977) menemukan bahwa B. thuringiensis efektif melawan S. nitens, D. trima dan S. asigna dengan
tingkat kematian 90% dalam 7 hari. Cordyceps militaris telah
ditemukan efektif memparasit pupa ulat api jenis S.
asigna dan S. nitens. Virus
MNPV digunakan untuk mengendalikan larva ulat api.
Selain mikrobia antagonis tersebut di atas,
populasi ulat api dapat stabil secara alami di lapangan oleh adanya musuh alami
predator dan parasitoid. Predator ulat api yang sering ditemukan adalah Eochantecona furcellata dan Sycanus leucomesus. Sedangkan
parasitoid ulat api adalah Trichogrammatoidea thoseae,
Brachimeria lasus, Spinaria spinator, Apanteles aluella, Chlorocryptus
purpuratus, Fornicia ceylonica, Systropus roepkei, Dolichogenidae metesae, dan
Chaetexorista javana. Parasitoid
dapat diperbanyak dan dikonservasi di perkebunan kelapa sawit dengan
menyediakan makanan bagi imago parasitoid tersebut seperti Turnera subulata, Turnera ulmifolia, Euphorbia
heterophylla, Cassia tora, Boreria lata dan Elephantopus tomentosus. Oleh
karena itu, tanaman-tanaman tersebut hendaknya tetap ditanam dan jangan
dimusnahkan. Tiong (1977) juga melaporkan bahwa adanya penutup tanah dapat
mengurangi populasi ulat api karena populasi musuh alami akan meningkat.
Ulat Kantung
Ulat kantong termasuk dalam famili Psychidae. Tujuh spesies yang pernah
ditemukan pada tanaman kelapa sawit adalah Metisa plana, Mahasena
corbetti, Cremastopsyche pendula, Brachycyttarus
griseus, Manatha albipes, Amatissa sp. dan Cryptothelea cardiophaga (Norman et al., 1995). Jenis ulat kantong
yang paling merugikan di perkebunan kelapa sawit adalah Metisa plana dan Mahasena corbetti.
Siklus Hidup dan biologinya
Ciri khas ulat kantong adalah hidupnya di dalam
sebuah bangunan mirip kantong yang berasal dari potongan-potongan daun, tangkai
bunga tanaman inang, di sekitar daerah serangan (Norman et al., 1995). Ciri khas yang lain
yakni pada bagian tubuh dewasa betina kebanyakan spesies ulat kantong mereduksi
dan tidak mampu untuk terbang. Jantan memiliki sayap dan akan mencari betina
karena bau feromon yang dikeluarkan betina untuk menarik serangga jantan.
Stadia ulat M. plana terdiri
atas 4-5 instar dan berlangsung sekitar 50 hari. Pada waktu berkepompong,
kantong kelihatan halus permukaan luarnya, berukuran panjang sekitar 15 mm dan
menggantung seperti kait di permukaan bawah daun. Stadia kepompong berlangsung
selama 25 hari.
Ngengat M. plana betina
dapat menghasilkan telur sebanyak 100-300 butir selama hidupnya. Telur menetas
dalam waktu 18 hari. Ulat berukuran lebih kecil dibandingkan dengan M. corbetti yakni pada akhir
perkembangannya dapat mencapai panjang sekitar 12 mm, dengan panjang kantong
15-17 mm.
Ngengat M. corbetti jantan
bersayap normal dengan rentangan sayap sekitar 30 mm dan berwarna coklat tua.
Seekor ngengat M. corbetti betina mampu
menghasilkan telur antara 2.000-3.000 butir (Syed, 1978). Telur menetas dalam
waktu sekitar 16 hari. Ulat yang baru menetas sangat aktif dan
bergantungan dengan benang-benang liurnya, sehingga mudah menyebar dengan
bantuan angin, terbawa manusia atau binantang. Ulat sangat aktif makan sambil
membuat kantong dari potongan daun yang agak kasar atau kasar.
Selanjutnya ulat bergerak dan makan dengan hanya mengeluarkan kepala dan kaki
depannya dari dalam kantong. Ulat mula-mula berada pada permukaan atas daun,
tetapi setelah kantong semakin besar berpindah menggantung di bagian permukaan
bawah daun kelapa sawit. Pada akhir perkembangannya, ulat dapat mencapai
panjang 35 mm dengan panjang kantong sekitar 30-50 mm. Stadia ulat berlangsung
sekitar 80 hari. Ulat berkepompong di dalam kantong selama sekitar 30
hari, sehingga total siklus hidupnya adalah sekitar 126 hari.
Pengetahuan tentang siklus hidup secara utuh
sangat berguna di dalam managemen pengendalian hama ini. Dengan informasi ini,
rantai terlemah dari siklus hidupnya didapat sehingga akan membantu dalam
menentukan waktu tindakan pengendalian yang tepat. Informasi siklus hidup juga
akan memberikan pemahaman biologi yang lebih baik untuk pengelolaan hama.
Kerusakan dan Pengaruhnya Di Lapangan
Serangan ulat kantong ditandai dengan kenampakan
tanaman tajuk tanaman yang kering seperti terbakar. Basri (1993) menunjukkan
bahwa kehilangan daun dapat mencapai 46,6%. Tanaman pada semua umur rentan
terhadap serangan ulat kantong, tetapi lebih cenderung berbahaya terjadi pada
tanaman dengan umur lebih dari 8 tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari
kemudahan penyebaran ulat kantong pada tanaman yang lebih tua karena antar
pelepah daun saling bersinggungan.
Pengendalian Biologi
Parasitoid
Parasitoid memiliki potensi untuk mengendlikan
hama secara biologi. Manipulasi lingkungan yang tepat untuk mengendalikan hama
ini karena tindakan ini akan memodifikasi lingkungan untuk kelangsungan hidup
dan perkembangan musuh alami.
Parasitoid primer dan sekunder, serta predator
mempengaruhi populasi M. plana. Diantara
parasitoid primer, Goryhus bunoh, hidup
paling lama (47 hari) sedangkan hiperparasitoid yang hidup paling lama adalah P. imbreus. Dolichogenidea metesae merupakan
parasitoid paling penting (Basri et al., 1995)
yang berkembang baik pada tanaman Cassia cobanensis, termasuk
Asystasia intrusa, Crotalaria usaramoensis, dan
Euphorbia heterophylla. Kecuali A. intrusa, keberadaan tanaman ini
akan bermanfaat karena memberikan nektar untuk parasitoid.
Bacillus
thuringiensis
Penggunaan Bacillus thuringiensis (Bt)
sebagai insektisida biologi mempunyai banyak keuntungan; toksisitasnya hanya
pada serangga target, dan umumnya tidak membahayakan musuh alami, manusia, ikan
dan kehidupan lain. Meskipun telah ada percobaan oleh beberapa kebun dalam
menggunakan Bt untuk pengendalian ulat kantong, tetapi hanya sedikit
keberhasilannya.
Pengendalian Secara Kimiawi
Ulat kantong dapat dikendalikan dengan
penyemprotan atau dengan injeksi batang menggunakan insektisida. Untuk tanaman
yang lebih muda (< umur 2 tahun), knapsack sprayer
dapat digunakan untuk penyemprotan. Untuk tanaman lebih dari 3 tahun, aplikasi
insektisida dapat menggunakan fogging atau
injeksi batang. Monocrotophos dan methamidophos merupakan dua insektisida
sistemik yang direkomendasikan untuk injeksi batang (Hutauruk dan Sipayung,
1978). Karena bahan bakunya adalah bahan kimia yang sangat berbahaya, ijin
harus diperlukan dari Komisi Pestisida untuk tujuan dan cara aplikasi dan saat
ini sudah tidak dikeluarkan lagi.
Peluang Pengendalian Ke Depan
Keterbatasan insektisida kimiawi dan lambatnya
pengendalian biologi ulat kantong akan menyulitkan pengendalian apabila terjadi
eksplosi hama secara besar-besaran. Penggunaan perangkap feromon menjadi salah
satu solusi yang terbaik dalam mengendalikan hama ini. Imago yang tertangkap
merupakan ngengat jantan, dimana hanya yang jantan yang mampu terbang sedangkan
betina tetap berada di dalam kantongnya. Feromon ini merupakan senyawa kimia
yang diekstraksi dari ngengat betina. Penggunaan feromon ini akan sangat
efektif memutus siklus hidup hama. Hanya saja, keberadaannya saat ini belum
ditemukan.
Ulat
Bulu
Serangga hama yang lain yang terdapat
pada tanaman kelapa sawit adalah beberapa macam ulat bulu Dasychira inclusa,
Amathusia phidippus, Calliteara horsfielddii, Ambadra rafflesi, dan Pseudoresia
desmierdechenoni. Ulat ini masih tergolong hama minor di perkebunan kelapa
sawit, tetapi akhir-akhir ini pada beberapa tempat mulai menimbulkan serangan
yang cukup serius.
Ulat
Tandan
Serangga Tirathaba mundella dan T. rufivena
dikenal sebagai hama penggerek tandan buah kelapa sawit baik di Indonesia
maupun di Malaysia. Pada umumnya hama ini dijumpai terutama pada areal dengan
tandan buah dengan fruitset rendah atau terlewat dipanen (Wood & Ng 1974),
karena sebagai makanan hama ini. Tirathaba mundella ini biasanya mulai
dijumpai di suatu areal kelapa sawit pada saat tanaman sudah mengeluarkan
bunga. Pembentukan bunga yang terjadi secara terus-menerus merupakan salah satu
faktor pendorong perkembangan populasi hama ini.
Gambar 1. Larva T. mundella pada
tandan kelapa sawit
Pada saat istirahat ngengat berbentuk segitiga dan berwarna
kehijauan untuk T. mundella atau putih keabuan untuk T. rufivena.
Rentangan sayapnya berkisar antara 20-25 mm. Ngengat tersebut aktif pada sore
menjelang malam hari (Sudharto 2004).
Biasanya telur diletakkan pada tandan buah betina yang sudah
mulai membuka seludangnya, meskipun dapat juga dijiumpai pada semua tingkat
umur tandan buah. Telur akan menetas dalam waktu sekitar 4 hari.
Larva biasanya dijumpai pada bunga
betina, bunga jantan dan tandan buah. Larva muda berwarna putih kotor,
sedangkan larva dewasa berwarna coklat muda sampai coklat tua. Larva tua
panjangnya 4 cm dan ditumbuhi dengan rambut-rambut panjang yang jarang. Larva
tersebut memakan putik bunga dan daging buah kelapa sawit. Stadia ulat
berlangsung selama 16-21 hari atau antara 2-3 minggu yang terdiri dari 5 instar.
Menjelang berkepompong larva membentuk kokon dari sisa gerekan dan kotorannya
yang direkat dengan benang liur pada tandan buah yang diserang.
Pupa kemudian berubah menjadi imago.
Pada sayap depan imago terdapat bercak kecil berwarna hijau, sedangkan pada
bagian belakang sayap terdapat bercak berwarna coklat muda kekuningan.
Imago betina mempunyai ukuran sayap lebih besar yaitu 24mm, sedangkan imago
jantan ukuran sayapnya lebih kecil dari 24mm. Pupa berwarna coklat gelap dan
stadia pupa berlangsung sekitar 5-10 hari atau sekitar 1,5 minggu, sedangkan
stadia imago berlangsung selama 9-12 hari sehingga total siklus hidupnya adalah
lebih kurang 1 bulan (Chan 1973; Hartely 1979; Wood & Ng 1974). Dari semua
stadia ini yang merusak adalah stadia ulat atau larvanya.
Gejala dan Kerusakan
Tirathaba mundella banyak menyerang tanaman
kelapa sawit muda berumur 3-4 tahunan (Basri et al 1991), tetapi pada kondisi
tertentu juga ditemui pada tanaman tua.. Gejala serangannya berupa bekas
gerekan yang ditemukan pada permukaan buah dan bunga. Bekas gerekan tersebut
berupa faeces dan serat tanaman. Larva T. mundella dan T.
rufivena dapat memakan bunga jantan maupun bunga betina. Larva menggerek
bunga betina, mulai dari bunga yang seludangnya baru membuka sampai dengan buah
matang. Bunga yang terserang akan gugur dan apabila ulat menggerek buah kelapa
sawit yang baru terbentuk sampai ke bagian inti maka buah tersebut akan rontok
(aborsi) atau berkembang tanpa inti. Akibatnya fruitset buah sangat rendah
akibat hama ini. Buah muda dan buah matang biasanya digerek pada bagian luarnya
sehingga akan meninggalkan cacat sampai buah dipanen atau juga menggerek sampai
inti buahnya. Sisa gerekan dan kotoran yang terekat oleh benang-banang liur
larva akan menempel pada permukaan tandan buah sehingga kelihatan kusam.
Pada serangan baru, bekas gerekan
masih berwarna merah muda dan larva masih aktif di dalamnya. Sedangkan pada
serangan lama, bekas gerek berwarna kehitaman dan larva sudah tidak aktif
karena larva telah berubah menjadi kepompong. Serangan hama ini dapat
menyebabkan buah aborsi.
Rayap pekerja jenis ini
biasanya merusak akar, batang dan pangkal pupus terutama pada tanaman muda di
lahan gambut. Rayap pekerja berwarna putih, panjangnya 5 mm. Rayap tentara
panjangnya 6-8 mm, memiliki kepala besar dan rahang yang kuat. Ratu dapat
mencapai panjang 50 mm. Jenis ini bersarang pada kayu busuk di dalam tanah.
Lorong-lorong kembara berupa kanal-kanal terbuat dari tanah dan lapukan serat
kayu, mudah dijumpai pada dinding-dinding batang dan pelepah, berwarna cokelat
agak lembab.
Pengendaliannya biasanya
dengan termitisida. Jenis yang lain adalah Macrotermes gilvus (Hagen),
tidak merusak jaringan hidup, tetapi sering membuat sarang berupa gundukan
tanah di piringan pohon
Tikus
Ada 4 spesies tikus ditemukan pada pertanaman kelapa sawit,
yaitu tikus rumah Rattus rattus. diardii, tikus
padang R. r. exulans, tikus sawah R. r. argentiventer, dan yang
dominan dan paling merugikan adalah R. r. tiomanicus atau tikus belukar.
Tikus R.r. argentiventer kerap menyerang kelapa sawit pada kebun-kebun
yang berbatasan dengan persawahan, terutama sawah yang telah selesai dipanen.
Jadi tikus jenis ini bermigrasi sementara ke kebun sawit, yaitu ketika di sawah
tidak tersedia makanan yang cukup.
Tikus R.r. tiomanicus
berwarna keabu-abuan hingga coklat kemerahan, bagian bawah perutnya putih hingga
abu-abu terang. Panjang kepala dan badan 15-20 cm, dengan ekor sedikit lebih
panjang daripada badan. Puting susunya 10 buah, 2 pasang di dada dan 3 pasang
di bagian perut. Tikus ini menjadi dewasa setelah berumur 3-4 bulan, dan akan
melahirkan anak tiap 2 bulan. Jumlah anaknya dapat mencapai 10 ekor tiap kali
melahirkan, tetapi biasanya 3-8 ekor. Seekor tikus betina dapat menghasilkan
keturunan sebanyak 500 ekor selama hidupnya.
Gambar 2.
Sarang tikus pada tanaman kelapa sawit
Tikus bersarang di pohon atau pada
tumpukan kayuan atau dedaunan kering di atas tanah. Tikus memakan buah mentah
dan matang, atau mengerat bagian pangkal pelepah pada TBM, sehingga dapat
mematikan tanaman muda. Kematian tanaman muda akibat serangan tikus dapat
mencapai 20%, sehingga harus dilakukan penyisipan yang memerlukan tambahan
biaya bibit dan tenaga kerja, serta menyebabkan tertundanya masa panen.
Perkembangan populasi tikus sangat dipengaruhi oleh tersedianya makanan, yaitu
karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin dan air. Kehilangan produksi pada
TM akibat serangan tikus dapat mencapai 1.363,8 kg minyak mentah sawit/ha/tahun
(Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997). Kehilangan produksi ini belum termasuk
brondolan yang dibawa tikus ke dalam sarang dan tumpukan-tumpukan pelepah di
gawangan. Selain itu, perlukaan buah akibat keratan tikus dapat meningkatkan
kadar asam lemak bebas dalam minyak sawit, serta mendorong berkembangnya
jamur-jamur saprofitik yang selanjutnya akan membusukkan buah dan tandan di
pohon.
Hasil penelitian pada perkebunan
kelapa sawit di Sumatera Utara menunjukkan bahwa luas wilayah jelajah R. r.
tiomanicus jantan dan betina tidak berbeda nyata, berturut-turut adalah 234
m dan 229,5 m, dan daya jelajahnya adalah 11,35 m/hari dan 10,35
m/hari (Thohari, et al., 1989).
Babi
Hutan
Babi hutan merupakan jenis hama
mammalia penting pada perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya satwa ini bukanlah
merupakan penghuni tetap pada ekosistim perkebunan kelapa sawit. Kerusakan yang
ditimbulkannya pada kelapa sawit hanya merupakan efek sekunder dari
kehadirannya pada kebun sawit. Mereka adalah salah satu penghuni tetap hutan.
Habitatnya meliputi kisaran geografis yang sangat beragam, pada hampir semua
ekosistim, mulai dari padang alang-alang, semak belukar, hutan sekunder, hutan
payau, hingga hutan pegunungan.
Jenis babi
hutan yang umum dijumpai merusak tanaman kelapa sawit adalah Sus scrofa
vittatus. Jenis lain adalah Sus barbatus atau babi janggut, tetapi
jarang dijumpai (Sipayung, 1992). Kedua spesies tersebut dilaporkan dijumpai di
Sumatera dan Kalimantan. S. s. vittatus mempunyai garis putih di
moncongnya, anak-anaknya berwarna coklat bergaris-garis terang, sedangkan S.
barbatus berwarna agak muda, kepalanya lebih panjang dan berambut panjang
tegak di sekeliling kepalanya. Di Jawa dan Sulawesi dijumpai Sus verrucosus
yang berukuran lebih besar dan mempunyai taring panjang di kepalanya dan
badannya tidak berbelang (Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997).
Gambar
1. Babi hutan
Babi hutan
terutama menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda atau yang baru ditanam,
karena mereka menyukai umbutnya yang lunak. Timbulnya serangan babi hutan pada
tanaman kelapa sawit tidak semata-mata karena populasinya yang tinggi di
habitatnya dalam hutan yang berdekatan, tetapi erat hubungannya dengan sifat
satwa liar ini yang rakus. Selain memakan umbut mereka juga memakan buah sawit
yang sudah membrondol di tanah, dan tandan buah di pohon yang masih terjangkau.
Dilaporkan bahwa kematian tanaman muda akibat serangan babi hutan di Aceh
diperkirakan 15,8% (Sipayung, 1992). Sebagai gambaran kerusakan tanaman kelapa
sawit yang diakibatkan serangan babi hutan di beberapa daerah pengembangan
disajikan pada Tabel 1. Selain itu, serangannya juga menyebabkan kerusakan pada
perakaran terutama terhadap akar-akar makan (feeding roots) di sekitar
piringan pohon, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan hara dari tanah
dan mendorong timbulnya penyakit akar.
Gambar 2. Gejala serangan babi hutan
Salah satu
komponen habitat yang diperlukan oleh babi hutan adalah air dan lumpur, yang
digunakan sebagai tempat berkubang. Aktivitas berkubang tertinggi terjadi pada
jam 11.00 – 13.00, dan frekuensi aktivitas mencari makan tertinggi terjadi pada
jam 05.00 – 07.00 dan 16.00 – 18.00. Daya jangkau terjauh dari serangan babi
hutan terhadap perkebunan kelapa sawit adalah 693 m dari tepi hutan dengan
rata-rata 522 m (Sipayung, 1992).
Babi hutan
jantan dewasa biasanya bergerak dan mencari makan sendiri (soliter), sedangkan
yang betina hidup bersama dengan anak-anaknya dalam kelompok 4-50 ekor. Musim
kawin ditandai dengan bergabungnya babi hutan jantan dewasa dengan kelompok
betina. Seekor babi hutan betina dapat beranak sampai 12 ekor
dengan masa bunting 110 hari. Induk babi tersebut dapat beranak lagi setelah
7-8 bulan setelah masa beranak sebelumnya (Sudharto dan Desmier de Chenon,
1997). Mereka menggunakan suaranya untuk berkomunikasi, termasuk untuk
memperingatkan adanya bahaya (alarm call) yang mengancam
Busuk
Pangkal Batang
Biologi
Penyakit ini memiliki banyak nama di
seluruh dunia, tetapi selalu menjadi penyakit yang mematikan pada kelapa sawit.
Busuk pangkal batang kelapa sawit disebabkan oleh jamur Ganoderma. Jamur
Ganoderma lebih dikenal sebagai obat herbal di China, Korea dan Jepang.
Ganoderma tergolong dalam kelas Basidiomycetes, penyebab utama penyakit akar
putih pada tanaman berkayu dengan menguraikan lignin yang mengandung selulosa
dan polisakarida. Ganoderma dapat tumbuh dengan baik pada media buatan dengan
memproduksi organ somatif. Pengisolasiannya dapat dilakukan dengan menanam
jaringan sakit atau bagian dari jaringan korteks basidiokarp. Ganoderma yang
ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dapat tumbuh lebih baik
daripada yang ditumbuhkan di media MA (Malt Agar), MEA (Malt Extract Agar), CMA
(Corn Meal Agar), dan CDA (Czapek’s Dox Agar). Media LBA (Lima Bean Agar) lebih
baik dibandingkan RDA (Rice Dextrose Agar), sama dengan PDA.
Gambar 1. Tubuh buah Ganoderma boninense
Basidiospora akan berkecambah 30 jam
setelah dipindahkan dari permukaan tubuh buah dengan tingkat germinasi sekitar
31.5 – 64%. Ganiderma boninense dapat tumbuh lebih baik jika pada media
ditambahkan sumber karbon seperti dekstrosa, fruktosa, galaktosa, sakarosa,
maltose, laktosa dan selulosa. Pertumbuhannya juga dipengaruhi dengan sumber
nitrogen yang digunakan. Setiap isolat memberikan respon yang berbeda terhadap
perbedaan sumber nitrogen diantaranya NaNO2, NaNO3, NH4NO3, (NH4)2HPO4,
asparagin, glisin, dan pepton. Suplemen biotin dapat meningkatkan perkecambahan
basidiospora. Miselia G. boninense dapat tumbuh dan membentuk basidiokarp pada
media serbuk batang kelapa sawit, serbuk batang kelapa sawit + biotin, potongan
akar kelapa sawit, dan potongan akar kelapa sawit + biotin. Bakal basidiokarp
mulai terbentuk 30 hari setelah inokulasi, dan tumbuh sempurna setelah 90 hari.
Di Indonesia, Ganoderma boninense dapat
tumbuh pada pH 3-8.5 dengan temperature optimal 30oC dan terganggu
pertumbuhannya pada suhu 15oC dan 35oC, dan tidak dapat tumbuh pada suhu 40oC
(Abadi dan Dharmaputra, 1988; Dharmaputra et al., 1993). Penyebab busuk pangkal
batang pada kelapa sawit berbeda di tiap negara. Di Afrika Selatan, busuk
pangkal batang disebabkan oleh G. lucidum Karst. sedangkan di Nigeria
disebabkan oleh G. zonatum, G. encidum, G. colossus, dan G. applanatum. Di
Malaysia, 4 spesies teridentifikasi sebagai penyebab busuk pangkal batang yaitu
G. boninense, G. miniatocinctum, G. zonatum dan G. tornatum. Jamur yang paling
sering ditemukan umumnya ialah G. boninense, sementara G. tornatum hanya
ditemukan tumbuh di pedalaman dan dataran tinggi dengan curah hujan tinggi. Di
Indonesia, G. boninense teridentifikasi sebagai spesies yang paling umum
menyerang (Abadi, 1987; Utomo, 2002).
Jamur Ganoderma tergolong ke dalam
kelas basidiomycetes. Famili ganodermataceae telah dikenal luas sebagai patogen
di banyak tanaman termasuk kelapa sawit. Jamur lignolitik umumnya termasuk
dalam jamur busuk putih yang digolongkan ke dalam basidiomycetes. Karena
itulah, jamur ini lebih aktif menghancurkan lignin dibandingkan golongan
lainnya. Komponen pembentuk dinding sel tanaman adalah lignin, selulosa, dan
hemiselulosa. Dengan demikian, untuk menyerang tanaman, jamur harus
menghancurkan ketiga komponen tersebut dengan enzim ligninase peroxidase,
selulose dan hemiselulose. Beberapa spesies Ganoderma memproduksi enzim
amylase, ekstraseluler, oksidase, invertase, koagulase, protease, renetase,
pektinase, dan selulose. Berdasarkan mekanisme infeksi, Ganoderma
diklasifikasikan kedalam jamur busuk putih. Jamur busuk putih ini
diklasifikasikan berdasarkan kecepatan dan produksi dari enzim lignolitik (Ward
et al., 2004).
G. lucidum memproduksi manganese
peroksidase (MnP), dan lakase; sama dengan enzim dari G. boninense yang
menyerang kelapa sawit tetapi masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Corley
dan Tinker, 2003). Jamur busuk putih memproduksi sistem lignolitik yang tidak
spesifik terdiri dari peroksidase dan lakase (phenol oksidase: LAC), yang
melakukan proses oksidasi (Peterson, 2007). Tiga peroksidase telah diobservasi
yaitu: LIP, MnP dan versatile peroksidase (VP). Biodegradasi dari komponen
selulosa tidak berbeda nyata untuk dibandingkan dengan yang dibentuk oleh
b-1,4-glucosidic, ikatan sederhana dari glukosa. Miller et al. (2000)
mengemukakan bahwa Ganoderma merupakan ‘saprobic’ dan hanya menyerang tanaman
inang yang lemah, sehingga dikategorikan sebagai parasit atau patogen sekunder.
Penjelasan lain dari jamur ialah sebagai saprofit fakultatif. Ganoderma juga
hidup sebagai endofit dalam kelapa (Abdullah, 2000).
Gambar 2. Akumulasi daun tombak dan
pengeringan pelepah
Gejala awal
penyakit sulit diidentifikasi dikarenakan perkembangannya yang lambat dan
dikarenakan gejala eksternal berbeda dengan gejala internal. Sangat mudah untuk
mengidentifikasi gejala di tanaman dewasa atau saat telah membentuk tubuh buah,
konsekuensinya, penyakit jadi lebih sulit dikendalikan. Gejala utama BSR adalah
terhambatnya pertumbuhan, warna daun menjadi hijau pucat dan busuk pada batang
tanaman (Gambar 2 dan 3). Pada tanaman belum menghasilkan, gejala awal ditandai
dengan penguningan tanaman atau daun terbawah diikuti dengan nekrosis yang
menyebar ke seluruh daun. Pada tanaman dewasa, semua pelepah menjadi pucat,
semua daun dan pelepah mengering, daun tombak tidak membuka (terjadinya
akumulasi daun tombak) dan suatu saat tanaman akan mati (Purba, 1993).
Gambar 3. Tanaman kelapa sawit yang tumbang karena Ganoderma
Gejala ditandai dengan mati dan
mengeringnya tanaman dapat terjadi bersamaan dengan adanya serangan rayap.
Dapat diasumsikan jika gejala pada daun terlihat, maka setengah batang kelapa
sawit telah hancur oleh Ganoderma. Pada tanaman belum menghasilkan, saat gejala
muncul, tanaman akan mati setelah 7 sampai 12 bulan, sementara tanaman dewasa
akan mati setelah 2 tahun. Saat gejala tajuk muncul, biasanya setengah dari
jaringan didalam pangkal batang sudah mati oleh Ganoderma. Sebagai tambahan,
gejala internal yang ditandai dengan busuk pangkal batang muncul. Dalam
jaringan yang busuk, luka terlihat dari area berwarna coklat muda diikuti
dengan area gelap seperti bayangan pita, yang umumnya disebut zona reaksi resin
(Semangun, 1990).
Secara mikroskopik, gejala internal
dari akar yang terserang Ganoderma sama dengan batang yang terinfeksi. Jaringan
korteks dari akar yang terinfeksi berubah menjadi coklat sampai putih. Pada
serangan lanjutan, jaringan korteks menjadi rapuh dan mudah hancur. Jaringan
stele akar terinfeksi menjadi hitam pada serangan berat (Rahayu, 1986). Hifa
umumnya berada pada jaringan korteks, endodermis, perisel, xilem dan floem.
Klamidospora sering dibentuk untuk bertahan hidup pada kondisi ekstrim. Tanda
lain dari penyakit ialah munculnya tubuh buah atau basidiokarp pada pangkal
batang kelapa sawit (Gambar 4).
Gejala penyakit Ganoderma di lahan
gambut memiliki perbedaan dengan di lahan mineral. Perbedaan ekologi antara
tanah gambut dengan tanah mineral, keistimewaan dan karakteristik lahan
menentukan perbedaan keistimewaan, karakteristik dan mekanisme persebaran
Ganoderma. Tingginya kemunculan penyakit Ganoderma pada lahan gambut
kemungkinan besar disebabkan oleh basidiospora sebagai agen penyebar, dan lahan
gambut umumnya cocok untuk perkembangan Ganoderma. Pola kemunculan gejala pada perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut juga berbeda. Gejala serangan buruk batang atas
lebih sering terjadi, bahkan sampai lebih dari 63%. Fakta ini terlihat dari
sampel yang diambil dari Labuhan Batu, dengan perbandingan BSR:USR sebesar
37%:63% (Susanto et al., 2008). Perbandingan busuk pangkal batang dan busuk
batang atas sangat berhubungan dengan jenis lahan gambut dan tergenang atau
tidaknya dalam satu tahun. Saat tanah gambut mulai mendekati tanah mineral,
busuk pangkal batang akan meningkat, sebaliknya busuk batang atas akan menurun.
Lahan tergenang akan menyebabkan Ganoderma mati dan memperkuat mekanisme busuk
batang atas. Pola penyebaran basidiospora melalui udara membuat busuk batang
atas sebagai gejala penyakit Ganoderma.
Arti Ekonomi
Penyakit busuk pangkal batang adalah
penyakit penting yang menyebabkan kerugian besar di perkebunan kelapa sawit
(Semangun, 1990; Treu, 1998), terutama di Indonesia dan Malaysia (Turner, 1981;
Darmono, 1998b). Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini telah menyebabkan
kematian tanaman sampai lebih dari 80% dari seluruh populasi kelapa sawit, dan
menyebabkan penurunan produk kelapa sawit per unit area (Susanto, 2002; Susanto
et al., 2002b). Dahulu G. boninense dipercaya hanya menyerang tanaman tua,
namun demikian, saat ini telah dipahami bahwa patogen ini juga menyerang
tanaman tanaman belum menghasilkan (< 1 tahun). Gejala penyakit muncul lebih
cepat dan lebih berat pada generasi ketiga dan keempat (Gambar 6). Insiden
penyakit di tanaman belum menghasilkan pada generasi pertama, kedua, ketiga dan
keempat berturut-turut adalah 0, 4, 7 dan 11%. Sedangkan insiden penyakit di
tanaman menghasilkan pada generasi pertama, kedua dan ketiga secara
berturut-turut adalah 17, 18 dan 75% (Susanto et al., 2002a). Tingginya insiden
penyakit menyebabkan banyak pekebun lebih cepat melakukan tanam ulang walaupun
tanaman masih berusia 17 tahun (tanaman sehat sebenarnya masih produktif hingga
berusia 25-30 tahun).
Kerugian yang disebabkan oleh Ganoderma
dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung
berupa rendahnya produksi sampai kematian tanaman, sedangkan kerugian tidak
langsung berupa penurunan bobot batang terhadap tandan kelapa sawit. Tanaman
terserang Ganoderma akan menderita akibat menurunnya bobot batang sehingga
tanaman akhirnya tidak mampu memproduksi tandan. Untuk membantu menggambarkan
kerugian yang disebabkan penyakit ini, pada perkebunan seluas 200.000 hektar
yang memasuki generasi penanaman ke tiga dan ke empat, 1000 tanaman mati atau
sekitar 6 hektar tidak menghasilkan. Kerugian akan semakin besar tahun demi
tahun secara akumulasi. Sebagai contoh, saat tahun pertama terserang 6 hektar;
tahun kedua terserang 12 hektar; dan seterusnya. Karena itu, potensi kerugian
meningkat seiring semakin tuanya tanaman, dan semakin produktifnya tanaman.
Saat ini, pertumbuhan penyakit
Ganoderma di perkebunan kelapa sawit terutama dipicu oleh generasi perkebunan.
Semakin tinggi generasi perkebunan, semakin parah serangan penyakit hingga
menyerang tanaman belum menghasilkan. Pada perkebunan kelapa sawit di lahan
gambut, perkembangan infeksi Ganoderma cenderung meningkat (Tabel 1), yang
disebabkan oleh mekanisme pemencaran melalui basidiospora.
Spesies Ganoderma yang bersifat
patogenik pada kelapa sawit memiliki kisaran inang yang luas. Pada habitat
alaminya di hutan, jamur ini dapat menyerang tanaman berkayu. Selain menyerang
E. guineensis dan Albizia sp., G. boninense dapat menyerang anggota palem-paleman
seperti Cocos nucifera, Livistona subglobosa, Casuarina tolurosa, dan Areca spp
(Gambar 8). Di daerah pesisir, dua spesies palem-paleman, dikenal dengan nibung
(Oncosperma filamentosa) dan serdang (Livistona cochichinensis), juga terserang
penyakit. Telah dilaporkan juga bahwa G. boninense dapat menyerang Acacia
mangium. Berdasarkan pengamatan, jamur ini juga dapat tumbuh pada tunggul
tanaman karet dan kakao.
Penyakit busuk pangkal batang terutama
menyebar melalui kontak akar dari tanaman sehat dengan sumber inokulum yang
dapat berupa akar atau batang sakit. Selain batang kelapa sawit, akar yang
terinfeksi merupakan inokulum utama penyakit Ganoderma pada kelapa sawit
(Hasan, 2005). Mekanisme ini didukung oleh pola persebaran penyakit yang mengelompok.
Tanaman sakit biasanya dikelilingi oleh tanaman sakit dengan gejala lebih
ringan. Banyak sekali kelapa sawit yang mati akibat busuk pangkal batang ketika
sistem under planting digunakan. Di sisi lain, basidiospora juga telah
dinyatakan memainkan peranan penting dalam menyebarkan penyakit (Sanderson et
al., 2000; Pilotti et al., 2003; Sanderson, 2005). Basidiospora tidak selalu
membentuk miselium sekunder dan tubuh buah karena memerlukan tipe perkawinan
yang sama.
Percobaan kesesuaian vetetatif dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat menunjukkan bahwa Ganoderma pada area tertentu memiliki perbedaan tipe perkawinan (Pilotti et al., 2003). Begitu juga dengan agen pembeda molekuler (PCR). Jika disebabkan oleh kontak akar, Ganoderma yang tumbuh pada tanaman yang berdekatan seharusnya memiliki tipe yang sama. Basidiospora dibebaskan dan menyebar secara besar-besaran pada pukul 22.00-06.00, dan lebih sedikit pada pukul 12.00-16.00. Pemencaran ini juga dibantu oleh kumbang Oryctes rhinoceros yang larvanya umum ditemukan pada batang kelapa sawit yang busuk. S. nigrescens memainkan peranan paling penting dalam membantu penyebarannya di Indonesia.
Percobaan kesesuaian vetetatif dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat menunjukkan bahwa Ganoderma pada area tertentu memiliki perbedaan tipe perkawinan (Pilotti et al., 2003). Begitu juga dengan agen pembeda molekuler (PCR). Jika disebabkan oleh kontak akar, Ganoderma yang tumbuh pada tanaman yang berdekatan seharusnya memiliki tipe yang sama. Basidiospora dibebaskan dan menyebar secara besar-besaran pada pukul 22.00-06.00, dan lebih sedikit pada pukul 12.00-16.00. Pemencaran ini juga dibantu oleh kumbang Oryctes rhinoceros yang larvanya umum ditemukan pada batang kelapa sawit yang busuk. S. nigrescens memainkan peranan paling penting dalam membantu penyebarannya di Indonesia.
Perkebunan yang banyak tunggul tanaman
karet, kelapa sawit, kakao atau tanaman hutan lainnya rawan terhadap penyakit
ini. Tunggul dapat menjadi sumber inokulum Ganoderma yang potensial. Oleh
karena itu, sangat disarankan untuk memindahkan tunggul seluruhnya pada saat
melakukan tanam ulang. Lahan budidaya sebelum tanam ulang juga mempengaruhi
penyakit ini. Semakin tua tanaman, semakin besar kerusakan yang disebabkan oleh
penyakit ini. Kerugian yang meningkat berhubungan dengan peningkatan siklus
penanaman di perkebunan, yang menunjukkan bahwa substrat semakin melimpah atau
populasi inokulum semakin banyak. Lokasi perkebunan tidak terlalu penting
karena penyakit ini dapat ditemukan pada daerah pesisir dan pedalaman.
Ganoderma dapat menyerang tanaman di seluruh tipe tanah seperti podsolik,
hidromorfik, alluvial, dan gambut. Luka dapat disebabkan oleh beberapa faktor
biologi seperti gigitan tikus, tupai, babi hutan dan serangga. Faktor kedua
adalah luka mekanik yang disebabkan oleh parang, cangkul atau alat berat.
Tindakan Pengendalian
Teknik Budidaya dan Mekanis
Untuk menurunkan serangan Ganoderma,
pangkal batang kelapa sawit perlu ditimbun dengan tanah. Hal ini untuk mencegah
infestasi basidiospora ke batang kelapa sawit. Penggalian tanah disekeliling
tanaman terinfeksi dapat megurangi terjadinya kontak akar antara tanaman sakit
dengan tanaman sehat. Penimbunan dapat memperpanjang usia produksi sampai lebih
dari 2 tahun (Ho dan Hashim, 1997). Pendekatan ini dapat menemui kegagalan
dikarenakan letak akar terinfeksi tidak diketahui. Pengurangan jumlah sumber
inokulum di perkebunan dilakukan dengan mengoleksi dan membakar tubuh buah
Ganoderma. Sebelum penanaman tanaman baru, batang kelapa sawit lama dihancurkan
secara mekanis ataupun secara kimiawi (Chung et al., 1991).
Gambar4: pengendalian ganoderma
Gambar4: pengendalian ganoderma
Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi telah dilakukan di
perkebunan kelapa sawit dengan metode adsorpsi atau penyiraman tanah.
Berdasarkan hasil di laboratorium, hampi semua fungisida dapat menekan G.
boninense, tetapi tidak pada aplikasi lapangan. Fungisida golongan triazole
yang meliputi triadimenol, triadimefon dan tridemorph efektif dalam menekan
pertumbuhan miselia G. boninense pada konsentrasi 5, 10 dan 25 g/ml. Fungisida
hexaconazol dengan aplikasi bertekanan tinggi tidak dapat mengendalikan
pertumbuhan Ganoderma. Hasil pemeriksaan membuktikan bahwa fungisida hanya
efektif untuk menunda serangan Ganoderma, tetapi kemampuannya untuk mengatasi
permasalahan penyakit ini di perkebunan kelapa sawit masih harus diteliti.
Pengendalian Hayati
Turner (1981) menyatakan bahwa
Trichoderma sp., Pennicilium sp., dan Gliocladium sp. bersifat antagonis
terhadap Ganoderma dan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai agen pengendali
hayati. Keefektifan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam menekan
pertumbuhan beberapa penyakit tanaman telah dilaporkan, terutama untuk patogen
tular tanah. Trichoderma spp. telah banyak digunakan sebagai agen pengendali
hayati untuk penyakit layu Fusarium oxysporum pada tomat, melon dan kapas.
Selain itu juga digunakan untuk mengendalikan Rhizoctonia solani, Phytium
ultimum, Sclerotium rolfsii, Verticillium dahlia, Altenaria, dan Armillaria
mellea. Gliocladium sp. sebagai agen pengendali hayati telah digunakan untuk
menekan pertumbuhan R. solani, Sclerotinia sclerotiorum, dan S. rolfsii
(Campbell, 1989; Papavizas, 1992).
Trichoderma spp. dan Gliocladium spp.
diuji secara in-vitro dan in-vivo pada batang kelapa sawit untuk menekan
pertumbuhan G. boninense. Kedua agen hayati memiliki potensi yang bagus dalam
pengendalian G. boninense (Abadi, 1987; Dharmaputra 1989; Hadiwiyoni et al.,
1997; Abdullah dan Ilias, 2004). Di Indonesia, kelapa sawit memiliki kadar
oksigen yang rendah pada akar yang menyebabkan penggunaan Trichoderma menjadi
kurang efektif (Widyastuti, 2006). Meskipun demikian, Soepena et al. (2000)
berhasil memformulasikan fungisida hayati menggunakan Trichoderma koningii
untuk mengendalikan BSR pada kelapa sawit. Akhir-akhir ini, Trichoderma telah
digunakan untuk mengendalikan Ganoderma di lapangan walaupun hasilnya belum
konsisten (Susanto et al., 2005).
Pengendalian Penyakit Terpadu
Sistem lubang dalam lubang (sistem
menggali lubang di dalam lubang [panjang 3.0m x lebar 3.0m x dalam 0.8m] dengan
lubang tanam standard [0.6m x 0.6m x 0.6m] didalamnya (Gambar 10)) ditambah
aplikasi Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati (400g per lubang) dan
aplikasi tandan kosong (400kg per lubang per tahun) dapat digunakan sebagai
tindakan pengendalian untuk mengurangi tingkat infeksi Ganoderma (Susanto,
2002). Hal ini dikarenakan sumber inokulum berupa akar sakit telah dipindahkan
karena pada dasarnya akar tanaman kelapa sawit hanya tumbuh sampai kedalaman
80cm, dan sisa dari penyakit BSR pada lubang tanam akan dihancurkan oleh agen
pengendali hayati Trichoderma spp. Sistem ini dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya kontak akar. Bagaimanapun juga, sumber infeksi potensial masih dapat
ditemukan dari tanaman hidup yang berupa jaringan akar, bonggol dan batang
(Flood et al., 2000).
Penanaman ulang dengan sistem lubang
dalam lubang bertujuan untuk meningkatkan hasil kelapa sawit di tanah mineral
yang kurang nutrisi dan bercurah hujan rendah atau karena lahan tersebut telah
terexploitasi. Martoyo et al. (1996) melaporkan bahwa penggunaan sistem ini
mampu memberikan peningkatan produktivitas yang nyata.
Insiden penyakit BSR pada sistem lubang
dalam lubang lebih rendah (Tabel 3) dibandingkan sistem tanam dengan lubang
standard (0.73%, 2003; 0.73%, 2004; dan 1.37%, 2005) pada usia tanaman 10
tahun. Pada pengamatan tahun 2003, insiden penyakit BSR mencapai 0.29%.
Pengamatan di tahun 2004 dan 2005 juga menunjukkan nilai yang sama dengan
pengamatan di tahun 2003. Insiden penyakit mencapai 0.29% dan 0.86%
berturut-turut (Susanto et al., 2006). Di lokasi penanaman lain juga
menunjukkan hasil yang sama (Prasetyo et al., 2008).
Semogah bermanfaat bagi pencinta Kelapa Sawit...................